Minggu, 05 Agustus 2012

~KETIKA CINTA HARUS USAI~

~KETIKA CINTA HARUS USAI~
 
Aku memandang lekat tubuh yang tengah tergolek tidur di sampingku. Tegap dan tampan, tak bercacat. Tubuh yang sangat kukenal, yang telah berada disisiku selama 10 tahun terakhir hidupku. Tubuh seorang yang sangat kucintai, yang menjadi ayah dari anak-anakku.
Benakku menembus waktu, mengingat masa ketika kuliah dulu. Siapa yang tak pernah mendengar nama Yudhis. Mahasiswa kedokteran dari universitas negeri, ketua senat, aktivis Rohis, kader Lembaga Dakwah Kampus, dan seabrek jabatan lainnya.
Siapa pula yang tak kenal dengannya di kampus. Yudhis sering muncul di depan publik. Kepandaiannya berorasi mengagumkan. Menggugah semangat dan memukau yang mendengarnya.
Aku merasa amat mengenal Yudhis. Kami satu angkatan dan sering bekerja sama dalam banyak kegiatan dan kepanitiaan. Beberapa kali Yudhis menjadi ketua dan aku sebagai sekretaris. Sudah menjadi rahasia umum kalau Yudhis banyak penggemarnya. Fans-nya berasal dari beragam kalangan. Dari cewek gaul sampai aktivis, satu angakatn, hingga adik kelas, sefakultas maupun tidak. Yudhis punya kharisma yang luar biasa. Tutur katanya lembut dan sopan, wajahnya putih bersinar. Nilai plus yang lain adalah IP-nya tetap tinggi walau aktivitasnya bejibun.

Menjalani banyak kegiatan bersama dan interaksi berfrekuensi tinggi diantara kami berdua, diam-diam menjadikan aku sebagai salah satu yang berada diantara jajaran para penggemar gelapnya. Simpati yang mulai berkembang dari benih itu kukubur ke sedalam-dalamnya hatiku. Biar ia terpendam di sana dan tak ada yang tahu.

Aku dan Yudhis, kami sama-sama tahu, tak ada kata pacaran dalam kosa kata kami. Apalagi kami berada dalam satu wadah pembinaan. Sekecil apa pun “rasa” yang sempat menyeruak, sesegera mungkin aku enyahkan.

Kadangkala sulit bagiku untuk mengendalikan gejolak hati. Berada pada masa usia yang telah cukup untuk mengenal kata “cinta”. Berada pada masa di mana di dunia yang sama masyarakat telah mafhum dengan hubungan cinta di kalangan mahasiswa.

Tidak pernah terlintas sedikitpun aku akan pacaran. Sejak kecil ayah telah menanamkan pendidikan yang keras dan benar. Memproteksi anak-anak perempuannya dari segala kemungkinan fitnah.

Tapi hati ini. Uhh, tak mungkin aku membohongi diri sendiri bahwa aku menyukai Yudhis. Yudhis perhatian padaku? Ah,masa iya? Kutepuk pipiku untuk menyadarkan diri dari keterlenaan sesaat. Ya, Yudhis memang perhatian padaku, tapi juga perhatian ke yang lainnya. Seorang pemimpin dituntut untuk perhatian kepada anak buahnya. Tidak aneh kalau dia sering menghubungiku untuk membicarakan berbagai masalah dalam kegiatan kami.

Aku berada di balik lemari sekretariat, sibuk membereskan file-file Forum Studi. Kala itu sekretariat sepi, hanya ada aku seorang. Tiba-tiba terdengar percakapan dari balik lemari. Aku tak bisa melihat siapa mereka. Mereka pun tak menyadari ada sepasang telinga yang berada di balik lemari.

“Nur, kamu tahu nggak? Kak Yudhis perhatian banget ke aku. Aku nggak terlihat di rapat sekali saja, dia langsung menelepon aku!” seru suara pertama.

“Wah, kamu beruntung banget Mel. Kak Yudhis kan cakep, pinter, kaya lagi. Lumayanlah, biar Kijang tapi keluaran terbaru loh.” Suara ke dua menimpali.

“Bagiku dia perfect banget. Kamu lihat sendiri kan tadi bagaimana dia memandangku. Terus senyumnya. Manis banget bo!”

“Memang kalau aku perhatiin, Kak Yudhis ada feeling sama kamu. Tapi saingannya banyak Mel. Tau kan siapa aja yang naksir dia. Putri, Heni, Sinta. Belum lagi kakak-kakak angkatan.”

“Masa bodoh sama mereka. Yang penting Kak Yudhis suka sama aku.” Terselip nada GR dari suaranya.

Bukannya aku bermaksud menguping, tapi dialog itu tersimak dengan sendirinya. Dari suaranya aku bisa mengenali mereka. Adik tingkat, 3 angkatan di bawahku. Rasanya tak salah juga kalau ia merasa GR. Kadang Yudhis memang terlalu tebar pesona. Berulang kali kudengar para ikhwan menasehatinya tentang masalah ini. Akhirnya Yudhis menyadari bahwa kharismanya telah menyebabkan banyak hati yang jatuh bergelimpangan. Dan ia mulai membangun jarak.

Kini tubuh laki-laki yang berstatus suamiku itu bergerak. Menggeliat perlahan. Lalu tetap mendengkur halus. Kupandangi wajahnya. Hidung mancungnya menurun kepada kedua buah cinta kami, Ghazali dan Sabila. Kata banyak orang, Ghazali adalah fotocopy-an dari ayahnya.

Aku perhatikan bibir suamiku yang berwarna merah. Agak tak lazim memang seorang laki-laki berbibir merah. Masih kuingat saat bibir itu mengucap janji setia. Mitsaqan ghalizha, sebuah perjanjian yang amat tegung dalam pandangan Allah. Betapa mantap ia berucap dalam ijab kabul kami. Mengingatnya menyeruakkan rasa haru. Membuat tetes kecil bergulir di kedua pipiku.
*****
Sore itu aku dan ayah ibuku sedang mengobrol di teras belakang sambil menyamil kue buatan ibu.

“Nduk, sekarang apa rencanamu selanjutnya?” Ayah tetap saja memanggilku dengan ‘Nduk’, panggilan terhadap anak perempuan dalam bahasa Jawa. “PTTmu sudah selesai. Kamu mau pilih kuliah lagi ambil spesialis atau mau nikah?”
Dahiku mengernyit. Nikah? “Nikah Yah? Mau nikah sama siapa? Nggak ada calon nih!”

“Masih ingat Bram, putranya Om dan Tante Rono? Dulu waktu kecil sering main sama kamu.”

Keluarga Ronodipuro, masih priyayi dan punya bisnis besar. Keluarga mereka memang bersahabat dengan keluargaku. Kuingat pula Bram kecil yang sering merebut dan merusakkan mainanku. Aku menganguk-angguk tanda ingat.

“Sekarang Bram sudah jadi Branch Manager di perusahaan papanya. Dia juga punya bisnis otomotif. Bengkel dan tempat modifikasi. Ayah kemarin ke sana. Lumayan besar, pelanggannya juga banyak sepertinya.”

“Tante Rono sering ngobrol-ngobrol sama ibu. Dia ingin mencarikan istri untuk Bram. Katanya sudah cari kemana-mana nggak ada yang cocok. Eh setelah ketemu kamu beberapa kali dan ngobrol sama kamu seperti kemarin itu, dia bilang pilihannya jatuh ke kamu Nduk.” Ibu menjelaskan sambil menuangkan the dari teko ke dalam cangkir ayah yang sudah kosong. “Tante Rono itu seneng lho sama kamu. Katanya kamu cocok jadi istri Bram.”

“Oooo.begitu,” ujarku.

“Bagaimana Nduk?” tanya ayah.

“Bagaimana apanya Yah?” tanyaku kembali.

“Kamu mau nggak?”

“Ihhhh Ayah. Nggak bisa dijawab sekarang dong! Harus dipikir-pikir, harus istikharah. Paling tidak ketemu dulu. Belum tentu Bram juga langsung mau kan Yah.”
Akhirnya tibalah saat pertemuan itu. Om Rono, Tante Rono, dan Bram datang ke rumah kami tepat pukul tujuh malam. Setelah sedikit basa-basi di ruang tamu, kami lalu berbincang di meja makan, berusaha mengakrabkan antara kedua keluarga.

Bram kini tidak terlalu banyak berbeda dengan Bram kecil. Ketampanan yang telah terlihat di masa kecil kini makin menunjukkan kesempurnaannya. Penampilannya perlente dengan pakaian dari merek terkenal. Tercium pula aroma wangi yang berasal dari tubuhnya. Alamak, gumamku dalam hati, aku saja tak pernah berparfum, kecuali jika mau sholat.

Selama perbincangan itu aku sudah merasa tidak sreg. Entah kenapa. Kalau bicara masalah fisik, Bram memang bak pemain sinetron. Tapi namanya tidak sreg, ya tidak sreg. Hal begini kan tidak bisa dipaksa-paksa.

Ditengah-tengah asyiknya mengobrol, tiba-tiba Om Rono bicara dengan nada keras, “Bram memang harus punya istri seperti Arni. Supaya dia bisa belajar banyak tentang agama dan tidak lagi keluyuran ke café sampai pagi.”

Semuanya langsung terdiam. Tante Rono dan Bram memperlihatkan mimik wajah gusar mendengar kata-kata Om Rono. Aku, ayah, dan ibu juga kaget. Ibu berusaha mencairkan suasana yang jadi sedikit dingin dengan menawarkan sup asparagus kepada kami semua.

Oopss, rupanya Bram ini anak café. Nggak heran juga, terlihat dari gayanya. Sepulangnya mereka dari rumah kami, ayah mengatakan akan mencari informasi lebih jauh tentang Bram. Bagaimana kehidupan dan pergaulannya.
Om dan Tante Rono cukup sholeh. Tapi jaman sekarang orang tua tidak bisa dijadikan standar bagi kesholehan seorang anak. Anak kyai belum tentu jadi kyai. Anak perampok belum tentu perampok juga.

Aku pasrah, memohon kepada Allah diberi jodoh yang terbaik bagiku. Aku percaya karena Dia telah berjanji dalam firmannya Surah An-Nuur 26, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji. Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik pula.”

Kalau Bram bukan jodohku, pasti Allah akan tunjukkan jalannya, dan begitu pula jika sebaliknya.

Kabar itu justru datang dari Tante Rono sendiri. Bukan dari siapa-siapa yang menyebarkan gossip. Bukan pula dari Toni, sepupuku yang diberi tugas ayah untuk mencari tahu tentang Bram.

Tante Rono berkunjung ke rumah sambil bercucuran air mata lalu mencurahkan isi hatinya pada ibu. “Jeng, hancur sudah hati saya. Mau ditaruh dimana wajah dan kehormatan keluarga Ronodipuro.” Isak Tante Rono sesenggukan. “Memang Bram anaknya susah diatur. Tapi saya tak menyangka semuanya jadi begini. Rasanya kami sudah berusaha mendidiknya dengan benar.”

Ibu menenangkan sambil mengusap-usap pundak Tante Rono. “Tenanglah Mbakyu. Yang sabar. Memang ada apa tho?!” Sekonyong-konyong tangisnya malah jadi tak terbendung. Aku bangkit menyodorkan tissue kepada Tante Rono.
“Bram itu Jeng..dia.dia.dia.menghamili sekretarisnya!” Seusai keterbata-bataannya, Tante Rono melanjutkan tangisnya. “Perempuan itu menuntut untuk dinikahi. Kami tak bisa menolak.”

“Astaghfirullahaladzhim!!” ujarku dan ibu bersamaan.

Benarlah ini jawaban dari Allah. Bram bukan jodohku. Aku menatap trenyuh kepada Tante Rono. Kasihan, pasti berat sekali bebannya menerima kenyataan darah dagingnya menghamili anak orang di luar nikah. Semoga Bram benar-benar bertobat dan mau memperbaiki dirinya.

“Saya nggak enak sama Jeng, sama Arni,” kata Tante Rono setelah tangisnya mereda. “Padahal rencana sudah mau lamaran. Tadinya saya berharap sekali kita bisa besanan. Arni pasti bisa membimbing Bram untuk menjadi lebih baik.”

“Sudahlah Mbakyu. Kita tidak apa-apa kok. Keluarga kami tetap akan menjadi sahabat keluarga Mbakyu. Semoga jodoh Bram inilah yang terbaik. Mbakyu yang tabah ya!”

Batalnya perjodohan antara aku dan Bram tidak memberikan dampak apapun pada kehidupanku. Aku tetap memohon jodoh kepada Rabb-ku Yang Maha Mendengar.
Tak sampai sebulan kemudian, dengan tak disangka-sanga, datanglah serombongan keluarga ke rumahku. Mereka hanya punya satu tujuan, melamarku.
Suatu siang di hari Ahad, 10 tahun yang lalu, serombongan keluarga datang. Aku, ayah dan ibu kaget bukan kepalang. Kami tidak mengira akan ada yang datang membawa sepasukan orang dengan berderet mobil yang tiba-tiba sudah rapi parkir di depan rumah. Dua hari sebelumnya Yudhis memang meneleponku. Katanya ia akan ke rumahku Ahad ini. Tapi, siapa yang mengira seperti ini. Kupikir ia sekedar silaturahmi atau ada kepentingan tertentu.
Dengan sedikit basa-basi, orang tua Yudhis menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk melamarku. Ditodong begini aku tak sanggup berkutik. Bunga-bunga di taman hatiku pun semerbak, setelah sekian lama dipendam kini bermekaran.
Ayah, ibu dan keluarga semua menyukai Yudhis. Tentu saja! Apa lagi yang kurang dari seorang Yudhis? Tampan, pandai, kaya, dan sholeh. Ayah Yudhis juga pengusaha sukses, walau kalibernya sedikit di bawah Om Rono.
Yudhis adalah sosok sempurna yang berwujud nyata. Membuat bangga bagi yang menggandengnya. Menyenangkan diajak ngobrol. Tidak memalukan bagi orangtua yang menjadikannya menantu. Dan pasti akan jadi suami yang bisa membimbingku, bisa mengerti aku, dan menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Siapalah yang sanggup menolak Yudhis?
Terlihat orangtuaku langsung jatuh hati pada Yudhis. Tapi ayah tetap menyerahkan keputusan padaku, karena akulah yang akan menjalani pernikahan. Aku diam ketika ditanya.
“Arni diam saja, berarti iya. Begitu kan Pak Margono?” ujar ayah Yudhis. Ayah mengangguk-angguk saja.
“Maaf,” aku berpaling ke arah Yudhis, “belum bisa langsung menjawab ya atau tidak. Beri aku kesempatan untuk mempertimbangkan dan sholat istikharah.”
“Oh monggo, silahkan saja. Kalau Arni butuh waktu, sampaikan saja kira-kira berapa lama akan mempertimbangkan lamaran ini dan kapan akan memberikan jawaban. Tapi jangan lama-lama. Kasian Yudhis lho…!” ayah Yudhis menjawab sambil berseloroh.
Aku diam saja, bingung mau menjawab apa. Aku sendiri tidak tahu berapa lama yang kubutuhkan untuk mengambil keputusan terpenting dalam hidupku ini.
“Begini saja Mas, kita sama-sama berdoa saja semoga semua dimudahkan oleh Allah SWT. Nanti kalau Arni sudah bisa memutuskan, saya yang akan menghubungi Mas Permadi. Bagaimana Mas?” kata ayah.

Ayah Yudhis melirik ke arah Yudhis. Yudhis mengangguk pelan. “Baiklah Pak Margono, kalau memang begitu. Yah, memang sebaiknya hal-hal seperti pernikahan ini tidak terburu-buru menjawabnya. Kami memang tidak mengharapkan ada jawaban saat ini juga. Paling tidak kita sudah silaturahmi, nambah saudara. Kami juga ingin mengenal Arni lebih dekat, juga Bapak dan Ibu sekeluarga. Karena, terus terang kami juga kaget. Yudhis ini nggak ada angin nggak ada hujan, tahu-tahu minta saya dan mamanya untuk melamar. Padahal saya nggak pernah lihat Yudhis itu pacaran. Lha ini anak mau nikah sama siapa tho? Paling tidak kan calonnya mesti dikenalkan dulu, diajak main ke rumah. Bergaul sama keluarga besar. Dilihat bibit, bebet, bobot. Dan itu kan nggak langsung ujug-ujug begini, pakai waktu. Tapi Yudhis ngotot, katanya sistemnya bukan begitu, nggak ada pacaran-pacaran. Ya sudah akhirnya kami berembug dengan keluarga untuk datang hari ini. Kami ini hanya mendapatkan sedikit gambaran tentang Arni dan keluarga dari Yudhis. Jadi kami senang sekali bisa berkenalan dengan Bapak sekeluaga. Kami minta maaf kalau kedatangan kami merepotkan.”

“Wah nggak kok Mas, sama sekali tidak merepotkan. Lha malah seneng kok dikunjungi sekeluarga besar begini.” Ayah tersenyum menanggapi penuturan ayah Yudhis yang panjang dan lebar. “Kami harap Yudhis bersedia menunggu jawaban dari Arni. Dan kami mohon apapun jawabannya nanti tidak membuat rasa tidak enak diantara kita semua. Mudah-mudahan masih bisa terus bersilaturahmi ya Mas…!”

Malamnya kuceritakan kedatangan Yudhis sekeluarga kepada sahabatku yang juga satu kuliah dengan aku dan Yudhis dulu. Menurutnya, dari informasi yang bisa dipercaya, Yudhis memang sudah menyukaiku sejak kuliah. Oh, itukah sebabnya ia selalu memilihku menjadi sekretaris? Katanya, ketika kabar aku akan dilamar oleh Bram sampai ke telinganya, Yudhis kalang kabut. Dan akhirnya tanpa ba bi bu ia langsung datang melamar.

Akhirnya, Yudhis berhasil membawaku ke pelaminan. Betapa bangganya aku bersanding dengannya. Sang aktivis yang didamba banyak gadis. Dan kenyataannya akulah yang mendapatkannya, setelah menyingkirkan banyak saingan di hati Yudhis. Kudapati tatapan mata cemburu dan iri dari beberapa teman dan adik kelas yang kutahu pernah menyukai Yudhis, saat mereka datang ke resepsi pernikahan kami.

Hari-hari kami selanjutnya tentulah sangat indah. Bak lapis legit yang manisnya selalu ada di setiap gigitan. Tak ada duka. Tak ada lagi gelisah, gundah. Semua yang ada hanyalah bahagia dan bahagia. Lalu cinta kami berbuah. Lahir Ghazali, lalu Sabila. Semuanya menambah manisnya cinta kami.

Di awal pernikahan kami, aku dan Yudhis tetap aktif di dalam kegiatan dakwah dan sosial. Hampir setiap malam kami habiskan dengan tahajud berjamaah.
*****
Kini air mataku mengalir di kedua pipiku. Aku terisak tak bersuara. Memandangi wajah tampan yang tetap terlelap tenang.

Ramadhan yang lalu, tidak lagi kami lewati dengan penuh syahdu. Tak ada tarawih bersama. Tak ada tilawah bersama anak-anak. Jika dihitung, Yudhis hanya sempat 3 kali berbuka puasa di rumah. Sisa yang 27 hari entah berbuka puasa di mana. Ia selalu pulang malam, bahkan Subuh sekalian, setelah orang-orang selesai bersahur.

Beberapa tahun yang lalu, Yudhis sibuk, aku pun sibuk. Sebagai dokter spesialis jantung, Yudhis tergolong dokter muda yang cukup laris. Aku sibuk mengurus anak, rumah, dan praktek di puskesmas. Kesibukan kami membuat tak lagi aktif dan terikat dengan kegiatan dakwah yang sebelumnya kami geluti. Tali temali yang selama ini membentengi, satu persatu mulai putus.

Di awal karirnya, Yudhis sering bercerita ia beberapa kali terlewat waktu sholat kalau sedang ada operasi yang memakan waktu berjam-jam, dari satu waktu sholat ke waktu sholat yang lain. Aku selalu mengingatkan agar ia selalu sholat tepat waktu.

“Kalau lagi operasi mana bisa ditinggal,” kata Yudhis saat aku menegurnya. “Masa untuk sholat nggak bisa ditinggal sebentar saja?” kataku.

“Kamu kayak nggak ngerti saja. Kalau ditinggal bisa-bisa pasiennya meninggal. Nanti keluarga pasien menuntut dan menuduh malpraktek. Yah, ini kan darurat, nggak apa-apa kan?” kata Yudhis enteng. Awalnya ia menganggap darurat, tapi kali kesekian saat tidak ada darurat, ia semakin menganggapnya enteng. Aku heran dengan sikapnya yang sangat mudah menggampangkan sholat.

Entah kapan dan bagaimana mulainya, Yudhis mulai sering pulang malam di luar jadwal rumah sakit. Namun, aku percaya penuh padanya. Dan sebagai istri yang baik aku berusaha untuk tak banyak bertanya yang macam-macam. Yudhis mulai mempunyai komunitas tersendiri dalam lingkungannya. Komunitas yang sangat berbeda dengan komunitas kami semasa kuliah dulu.

Ibadah kami sangat garing. Yudhis malas mengimamiku. Kalau ia capek, aku disuruh sholat sendirian. Apalagi Qiyamullail, sudah lama sekali kami tinggalkan. Capek! Begitu selalu alasannya. Hubungan di tempat tidur juga terkena imbasnya. Segala-galanya jadi kering, tanpa ruh. Menjalaninya bagai rutinitas dan kewajiban semata.

Buah cinta kami mulai besar dan mulai nakal. Aku sering kewalahan menghadapinya sendirian. Kalau aku bicara pada Yudhis, jawabnya, “Lho itu tanggung jawabmu sebagai ibu.
Kamu bisa mendidik anak nggak sih? Tugasku itu cari uang!”

Ia pasti lupa isi khutbah nikah di pernikahan kami dulu. “Mendidik anak adalah tugas kedua orang tua, baik ibu maupun bapak. Ayah yang menjadi imam harus bisa menjadi nahkoda yang baik bagi biduk rumah tangganya. Dasar-dasar pendidikan itu harus berdasarkan arahan sang ayah.”

Kadangkala aku bisa sabar menghadapi Yudhis, tapi kadang pula kami bertengkar hebat. Yudhis semakin sering pulang diatas jam 1 pagi. Kalau kutelepon ke rumas sakit, dijawab kalau Yudhis sudah pulang dan tidak ada jadwal yang mengharuskannya pulang pagi. Walau begitu aku tetap berkata pada diriku sendiri, everything runs smooth, everything is ok.

Jam berapa pun ia pulang, aku tetap berusaha melayaninya. Mulai dari membuatkannya teh, kopi atau susu panas. Atau menyiapkan air panas kalau ia ingin mandi. Secapek apapun aku, kuusahakan sekuat tenaga untuk menyambut kedatangannya dengan senyum.

Yudhislah yang biasa pulang dengan wajah kusut masai dan mata merah. Tanpa senyum. Hanya perintah yang keluar dari bibir merahnya. Kadang-kadang ia bersikap manis. Tapi itu hanya jika ia ingin melampiaskan hasratnya padaku. Aku bukanlah seorang istri yang mau dilaknat oleh malaikat hingga pagi. Tugas seorang istri berusaha kutunaikan dengan baik.

Malam-malam panjang, ketika menanti Yudhis pulang, sering kuisi dengan sholat tahajud. Aku memohon agak Allah membuka kembali hati Yudhis dan memberikan takdir yang baik bagi kami sekeluarga.

“Arni, aku ada berita nih! Tapi kamu jangan kaget ya. Kamu percaya kan sama aku? Ini tentang Yudhis,” suara Toni, sepupuku, terdengar di HPku. Aku mengangguk walau tahu ia tak akan melihat anggukanku.
“Aku beberapa kali ini melihat suamimu. Pertama kali aku lihat dia lagi makan siang sama perempuan yang rambutnya dicat kemerahan di Chopstix Pondok Indah Mall. Nggak jauh kan dari tempat suamimu praktek.”

Toni melanjutkan, “Bukan cuma itu, aku pernah nguntit suamimu itu ke beberapa tempat. Afterhour, D’S Place, Barbados.”

“Oh ya?” kataku datar.

“Kamu kok nggak kaget?” tanya Toni.

“Kaget? Memang kenapa?” tanyaku bingung.

“Arni! Itu tuh tempat dugem, tau nggak?” jawab Toni.

“Du…gem?”
“Itu lho dunia gemerlap. Afterhour itu bar dan tempat billiard. Yang dua lagi yah semacam itu, sama saja. Aku lihat Yudhis sama cewek dengan mata kepala sendiri. Percaya deh, dia minum minuman, turun ke floor, peluk-pelukan sama cewek sok bule itu.” Nada suara Toni berapi-api penuh emosi.

Aku tak percaya, gumam bathinku. Tapi tak urung, tangan ini gemetar memegang HP. “Kamu salah orang mungkin Ton. Orang yang mirip Yudhis.”

“Salah orang bagaimana. Jelas banget gitu kok! Aku ngeliat dia sekitar jam 1 malem lewat. Dia sering nggak ada di rumah nggak kalau jam-jam segitu?”

Aku tersentak. Ya, Yudhis memang sering pulang pagi, dan ia nyata-nyata tidak sedang tugas di rumah sakit. Tapi…main billiard, minum, berpelukan dengan perempuan…? Rasanya sulit hati ini mempercayainya.

Hari ini, baru saja, semua pertanyaan yang bergumul di hatiku dan segala hal yeng menjadi rahasia selama ini terkuak lebar. Yudhis berkata jujur padaku bahwa ia mencintai perempuan lain, ingin bercerai dariku dan akan menikahi perempuan itu. DUARRRRRRR!!!!!! Bagai disambar geledek rasanya jantungku. Aku limbung.

“Baru kali ini aku benar-benar merasakan jatuh cinta. Maaf, sejak dulu aku tak pernah merasa mencintai kamu Arni. Aku mau ceraikan kamu!” Bibir itu berkata dingin, seolah tak sedang berbicara dengan istri yang telah mendampinginya sepuluh tahun ini. Bagaimana mungkin ia mengaku tak mencintaiku. Semuanya begitu manis. Aku tak percaya ia berkata begitu.

“Yudhis, sadarkah apa yang baru saja kamu katakan? Kamu baru saja menjatuhkan talak!”

“Memang begitulah mauku. Akhir-akhir ini aku merasa begitu hidup.
Bergairah dan penuh cinta. Aku merasa bahagia dengan Meta. Kita urus perceraian secepatnya. Besok kita ke Pengadilan Agama.” Kata-katanya dingin menusuk. “Sore nanti aku akan pindah. Sekarang aku mau numpang tidur sebentar. Di sofa di luar sini juga nggak apa-apa. Aku capek!”

“Mas, apa benar kamu sering ke tempat-tempat dugem?” aku memberanikan diri bertanya.

“Hahhhh?! Dari mana kamu tahu?” teriak Yudhis.

“Toni. Dia bilang beberapa kali lihat kamu. Sedang bersama perempuan dan minum-minum.”
“Hmmm, jadi selama ini kamu kirim sepupumu itu jadi mata-mata heh?! Betul. Si Toni nggak salah lihat. Ohhh…pantas saja aku merasa pernah lihat dia.”

“Ngapain sih Mas kamu ke tempat-tempat seperti itu?” aku bertanya sambil menahan tangisku yang hampir saja meledak.

“Ah kamu tahu apa tentang tempat seperti itu. Aku merasa senang di sana. Dan apa pula urusanmu. Kita sudah cerai, kamu nggak berhak turut campur lagi. Ini hidupku tahu?!”

“Masya Allah Mas, istighfar Mas, istighfar…kamu lagi lupa diri Mas! Cepatlah bertobat”
“Hhhahhhhhhh…SUDAH DIAM!!!!” bentak Yudhis kasar sambil menghempaskan tubuhnya di sofa empuk yang terletak di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian dengkur halusnya terdengar.

Begitu Yudhis terpejam tangisku tumpah ruah. Tak pernah terbayangkan sebelumnya Yudhis akan jadi seperti ini. Sang manusia sempurna bagi sebagian orang yang mengenalnya. Yudhis, yang semasa muda tak pernah mengenal tempat-tempat seperti itu. Yudhis, yang dulunya selalu membasahi bibirnya dengan berzikir. Yudhis, yang selalu menjaga wudhu, tak mau bersentuhan dengan wanita selain mahramnya. Yudhis, yang dulu lingkungannya selalu orang-orang yang baik.

Tapi sekarang??? Ketika lingkungan berubah, ia pun berubah. Menjadi manusia yang 180 derajat berpindah ke sisi lain dunia. Siapa yang akan mengira.
Aku menangis, membenamkan wajahku ke bantal. Ghazali memelukku dari belakang. “Mama, kenapa nangis?”

“Nggak kok sayang. Nggak papa,” aku mengusap air mata yang berurai. Ya Allah, lalu bagaimana nasib Ghazali dan Sabila tanpa ayahnya. Aku tak sangup lagi berpikir.

Di atas sajadah, aku mengadu kepada Rabbku yang Maha Mendengar hambanya yang tengah kesusahan. Aku pun sadar tidak seluruhnya adalah kesalahan Yudhis, pasti aku ada mempunyai andil. Aku terlalu mencintainya, memujanya. Bahkan cintaku padanya mungkin melebihi cintaku pada Allah. Mungkin ini teguran Allah bagiku, yang sering lupa padaNya. Yang menjadikan kecintaanku pada mahluk melebihi segala-galanya.

Satu episode hidupku telah berusaha kulalui dengan tetap berada di jalanNya. Dahulu, aku memutuskan menikah dengan Yudhis berdasarkan istikharah. Pada waktu itu aku ridho dengan agamanya. Sebagaimana pesan Baginda Rasulullah SAW agar tidak menolak pinangan laki-laki yang agamanya baik. Jika tidak maka akan terjadi fitnah di muka bumi. Dengan berbagai pertimbangan itu aku menerima lamaran Yudhis. Jadi salahkah aku kalau semuanya berakhir seperti ini?
Tiada kesempurnaan bagi seorang manusia. Allahlah yang Maha Membolak-balik hati manusia. Salahkulah yang mengharapkan kesempurnaan dari Yudhis, yang menganggap ia adalah segala-galanya tak bercacat. Padahal setiap orang tak pernah tahu bagaimana akhir hidupnya.

Aku masih hidup dan bernafas. Ini bukan akhir hidupku. Aku yakin Allah pasti punya rencana yang lebih baik di balik semua ujian yang diberikannya. Kekalutan dan ketakutanku perlahan sirna. Aku tak perlu khawatir dengan hidupku, hidup anak-anakku kelak. Allah-lah yang menjamin hidupku. Dia tak akan menelantarkan hambaNya.

Inilah takdir yang telah ditetapkan olehNya. Dan ini pasti yang terbaik bagi kami semua. Semoga saja Allah membukakan kembali hati Yudhis yang telah kelam dan mengembalikannya kepada kehidupan yang dulu.

Kupandangi lagi wajah tampan di seberang aku duduk saat ini. Nanti sore ia akan pergi dari rumah ini, pindah ke apartemen Meta, perempuan yang sering bersamanya di tempat dugem. Dan esoknya, kami akan ke Pengadilan Agama, mengurus perceraian.

Tangisku tetap ada, jiwaku tetap remuk redam, tapi hatiku terhibur olehNya. Satu episode hidup telah kulalui. Ketika cinta harus usai maka hidup harus terus berlanjut. Hati kecilku bertanya, kepada siapakah sebenarnya cintaku kupersembahkan? Kepada Yudhis ataukah Allah. Cinta sesungguhnya tak pernah usai. Kuusap lelehan tangisku.
 

~BIRUNYA LANGIT CINTA~

~BIRUNYA LANGIT CINTA~

~Birunya Langit Cinta~
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
==================================
Bawalah aku dalam bunga tidurmu sebagai penghias lentera hatimu, bawalah aku dalam mimpimu ditempat dimana hatimu berada.. mau kah kau menjadi kekasih hatiku???
Hwaaaaa Gubrakkkk ^.^
Sebuah kata cinta yang dilontarkan Bram pada Sofi membuat Sofi begitu terpedaya oleh kata-kata itu…
“Bram…”
“Ya”
“Kamu benar-benar mencintaiku?”
“Ya. Aku benar-benar mencintaimu, Sofi”.
“kamu janji tidak akan menyakitiku dan mengecewakanku?.
“aku janji…”
“Aku janji akan berusaha untuk bisa membalas dan memberikan cinta seutuhnya padamu. Percayalah padaku aku akan selalu ada untukmu”
***============***
Sejak menerima cinta Bram, hidup Sofi pun seakan dipenuhi keceriaan dan bunga-bunga cinta.
Ke kampus berdua, makan berdua, kemana-mana berdua pokoknya dunia ini milik berdua dehh..
Namun jalinan cinta yang indah itu (indah bagi orang yang berpacaran), harus dihadapkan pada kenyataan, ketika suatu hari Ayah dan Ibu Sofi mememperkenalkan seorang pemuda tampan yang usianya sekitar 4 sampai 5 tahun lebih tua ketimbang Sofi.
“Sofi, kenalkan ini bapak dan ibu Usman dan ini Haydar putra dari bapak dan ibu Usman”, tutur ayah Sofi memperkenalkan tamu-tamunya.
“senang bertemu denganmu Sofi”, kata Haydar dengan ramah.
“Terimakasih…”
“Sofi …” ucap ayah Sofi
“kedatangan Bapak dan Ibu Usman kemari adalah sebagai silaturahmi sekaligus ayah akan menyampaikan padamu tentang maksud dan tujuan ayah memperkenalkan Haydar padamu, ayah bermaksud menjodohkanmu dengan Haydar”. ^o^ Sofi teramat sangat terkejut ketika mendengar kata-kata ayahnya itu. Rasanya ingin sekali berkata TIDAAAAAK pada ayahnya. Namun apalah daya ia tak ingin membuat malu kedua orang tuanya itu di hadapan Pak Usman dan Bu Usman… terlebih Sofi sangat menghormati ayah dan ibunya, ia tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya dan membuat sakit hati kedua orang tuanya dengan berkata TIDAK..
“Mari , kita ngobrol di ruang tengah. Biarkan sofi dengan Haydar ngobrol di ruang tamu”. Ajak ayahnya Sofi yang segera di ikuti oleh kedua orang tua Haydar. Mereka pun meninggalkan ruang tamu.
Sepeninggal kedua orang tua mereka, baik Haydar maupun Sofi hanya diam membisu. Seakan keduanya tidak tahu, apa yang mesti mereka bicarakan. Suasana diruang tamu seketika hening. Hanya sesekali terdengar helaan nafas keduanya . atau terkadang keduanya tersenyum jika kedapatan saling pandang.
Lama keduanya mebisu, .
“Sofi… maaf…” Haydar tampak ragu berkata. Kepalanya menunduk, ketika Sofi memandang kearahnya. “Boleh aku bertanya?” Meski kaku akhirnya Haydar bisa mengeluarkan kata pembuka.
“Mengenai apa?”
“Kamu… kamu sudah punya pacar?”.Tanya Haydar
Sofi tidak langsung menjawab pertanyaan. Yang diajukan oleh Haydar. Sesaat dia terdiam sembari menghela nafas panjang dan berkata
“Kenapa mas Haydar Tanya seperti itu?” jawab Sofi.
“Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja…”
“Mas mau jawaban jujur?”
“Ya, tentu saja”
“Mas tidak kecewa?”
Haydar tersenyum dan berkata “Insyaallah Tidak”.
Kembali Sofi menghela nafas, dalam hati ia berkata, Mestikah aku berkata jujur pada Haydar, kalau aku sudah punya pacar? Walau Haydar berkata tidak kecewa, tapi Sofi jadi tak enak sendiri. Bagaimana juga Haydar dalam penilaiannya tampak lelaki yang baik dan penuh pengertian. Mestikah aku berkata jujur, jika aku jujur tapi aku khawatir justru malah berakibat tidak baik di kehidupan mendatang. Namun jika aku tidak berterus terang, itu sama halnya aku nerima begitu saja perjodohannya dengan Haydar. Padahal aku belum kenal betul dengan Haydar dan bagaimana sifat dan watak Haydar sebenarnya. Akhirnya sofi pun menetapkan hatinya untuk berkata jujur, tentunya dengan harapan, kiranya Haydar mau mengerti dan mendukung dirinya menolak rencana kedua orang tuanya.
“Kenapa ?kok diam?” Tanya Haydar “Tak usah ragu-ragu katakan saja…”
“Maaf, boleh lebih dulu sofi bertanya ?”
“Ya”
“Mas setuju dengan perjodohan kedua orang tua kita?”
“bagiku pribadi tak jadi masalah, apa kau keberatan?” sofi terdiam
“kok diam lagi” tegur haydar.
“apalah dayaku mas…”
“kenapa kau bicara seperti itu?”
“Karena kenyataannya sofi tidak punya pilihan” desah sofi dengan muka murung.
“maksudmu?”
“Ya, meski aku tak setuju dengan cara kuno ini, namun tetap saja ayah akan memaksakan aku. Aku hanya ingin membahagiakan kedua orang tuaku dengan menerima perjodohan ini mas”
“sofi kau sudah punya pacar?” kembali Haydar mempertanyakan pada sofi
Dengan menundukkan kepala Sofi berkata “Yaa aku sudah mempunyai kekasih yang sangat aku cintai”
“ Maafkan aku” ucap Haydar
“kenapa mas minta maaf”
“Karena aku tidak bisa membantumu”
“maksud mas”
“aku pun tak punya pilihan, selain menerima perjodohan yang telah disepakati oleh kedua orang tua kita”.
Sofi menarik nafas panjang dan berkata “mas menyukaiku?”
“jujur saja Yaa” Sofi terdiam bungkam mendengar jawaban Haydar
Sementara kedua orang tua mereka tengah sepakat melaksanakan pernikahan setelah Sofi lulus kuliah. Itu berarti dua bulan lagi Haydar dan Sofi akan dinikahkan.
***
Pagi harinya, begitu sampai dikampus Sofi langsung menemui Bram, dia ingin segera bertemu dan menceritakan apa yang semalam terjadi, masalah kesepakatan perjodohannya dengan Haydar
“Bram… aku mau ngomong sama kamu”
“ngomong apaan”
“Penting”
“ada apa?” Tanya Bram
“kamu benar mencintaiku ?”
“kenapa kamu bertanya seperti itu”
“aku ingin kepastian darimu”
“yaa kenapa?”
“bawa aku pergi dari sini”
“Kemana?. ”
“Kemana saja, yang penting tidak di ketahui oleh papa dan keluargaku”
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Haydar keheranan
Dengan wajah murung Sofi menceritakan apa yang terjadi semalam.
“kamu terima” “belum. Tapi aku tak punya pilihan, lalu bagaimana Bram” ucap sofi
“Tenanglah” ucap Bram
“Tenang?! Bagaimana aku bisa tenang Bram? Dan kenapa kamu seakan tidak merasa cemas atau bingung mendengar aku akan dinikahkan dengan pria lain?. Apa kamu tidak cinta sama aku?”
“Siapa bilang” aku cinta berat sama kamu, namun dalam menghadapi persoalan, semestinya kita harus bersikap tenang. Sebab kalau tidak akibatnya yang kita dapat bukan kebahagiaan, melainkan penyesalan,. Sebaiknya kamu tidak usah cemas. Beri aku waktu untuk memikirkan langkah apa yang akan kita tempuuh, aku akan memikirkannya”
“Tapi benar kamu akan memikirkannya?”
“tentu, aku pun tak ingin kau yang kucintai dan ku sayangi dimiliki oleh orang lain.” Bram mencoba meyakinkan Sofi
***
Setelah dua bulan berlalu Perkawinan yang sebenarnya tidak diinginkan itu akhirnya harus sofi terima, meski sesungguhnya dia tidak menghendaki perkawinan tersebut. Wajah yang bercahaya itu tidak bisa menyembunyikan duri yang mengganjal di hatinya. Namun sofi tak bisa berbuat apa-apa. Karena keputusan Bram yang seakan merelakan dirinya dimiliki orang lain, terasa menyakitkan hati,. Sejak saat itu Bram hanya ngomong sabar, sabar dan sabar tanpa ada usaha untuk membicarakan pada ayah Sofi. Sedangkan waktu perkawinan semakin bertambah dekat.
Karena tidak ada kepastian dari Bram akhirnya dengan berderai air mata Sofi pun harus menerima semua ini. Dia pun menikah dengan Haydar pria yang di jodohkannya itu. Teman dari kedua mempelai semua hadir turut merayakan, hanya Bram yang tak hadir dalam acara itu, Bram benar-benar aneh. Padahal Sofi sudah memberitahukan pada Nayla (sahabat sofi) bahwa dia akan menikah dengan Haydar. Tapi sampai malam begini pun Bram tak menunjukkan batang hidungnya.
Nay…! Sofi memanggil sahabatnya itu dengan setengah berbisik, berharap tak ada yang mendengar. Nayla segera menghampiri sofi.
“Ada apa”
“kamu ketemu sama Bram?”
“Ya”
“Kenapa dia tidak datang?” Tanya Sofi dengan suara masih berbisik, resah dan gelisah bercampur jengkel menjadi satu. “Kenapa Dia ya, apa mungkin dia kecewa?” Sofi melanjutkan
“Tidak juga”
“Kamu ketemu langsung sama dia, bagaimana tanggapan dia ketika kamu kasih tahu aku akan menikah?”
“Biasa saja?” jawab Nayla pendek
“Biasa bagaimana?”
“Ya biasa saja, bagai tak ada apa-apa” Ya sudah papamu ngeliatin terus, sudah ya” jawab nayla
“nanti dulu Nay”
“Tapi papa mu memandangi aku terus, sofi”
Sofi memandang kearah papanya dan benar sepertinya, papanya memang tengah mengamatinya dengan nayla.
“Aku pergi dulu ya?” Nayla memeluk Sofi berusaha memberi kekuatan hati pada Sofi. “Kamu harus percaya, dunia tak selamanya gelap. Ada malam, tentu ada siang. Takan ada kesedihan yang abadi begitu pula tidak ada kesenangan yang abadi, semua ada waktunya. Kau paham maksudku kan?”
“Yaa aku paham Nay” kata Sofi dengan mata yang berkaca-kaca.
“Jadilah istri yang sholehah Sofi,” Nay melangkah ke Haydar yang berdiri disamping Sofi dengan seulas senyum,
“Selamat ya mas Haydar, saya harap mas dapat menjaga Sofi dengan baik”
“Terima kasih , saya pun berharap seperti itu sembari senyum memandang ke arah sofi dan Nayla.”
“ku rasa sudah larut malam saya mohon pamit’ ucap Nayla. Sofi tak menyahut malah semakin menundukkan kepala hatinya masih gelisah dan bingung. Tapi kini dia sudah jadi istri Haydar, sudah sepatutnya dia mengabdi pada suami.
“Hati-hati Nay” Sofi menjawab
Nayla kembali memeluk sofi, rasanya dia tak tega melihat sahabatnya seperti ini.
***
Keesokan Harinya Haydar membawa istrinya, kerumah pemberian kedua orang tuanya sebagai hadiah pernikahannya.. hari demi hari telah berlalu, tampaknya Sofi sedikit-demi sedikit dapat beradaptasi dengan keadaan, dia melayani suami sebagai mana menjadi seorang istri.
“Sofi…” desis Haydar sambil memandang istrinya
“Ya”
“Aku lihat di hari pernikahan kita kau tampak gelisah kenapa? .
Sofi tersentak sama sekali tak menduga kalau Haydar hari itu dia memperhatikannya.
Kekasihmu tidak datang Kenapa?” ucap Haydar kembali
Sofi semakin tersentak dan menundukan kepala, tidak terasa butiran air mata mengalir dari matanya.
“jangan tanyakan itu mas, aku sekarang istrimu” ucap sofi sambil menundukan kepalanya
“Ya aku mengerti, maafkan aku, aku telah merenggut kebahagiaanmu”
“mas tak bersalah, justru aku yang salah, aku yang belum bisa memberi kebahagiaan pada mas”
“jangan begitu, justru aku bahagia bisa mengenalmu dan menjadi suamimu,”.
“Sofi” panggilnya berharap Sofi memandang wajahnya.
Perlahan sofi mengangkat kepalanya, tapi entah kenapa hatinya masih belum bisa menerima semuanya, Haydar memang lebih tampan dan Sholeh daripada Bram, bahkan lebih bertanggung jawab, namun hati memang tak bisa di bohongi, Sofi tetap memikirkan Bram, memikirkan dimakanah Bram saat ini, dan bagaimana keadaaannya serta bagaimana perasaan Bram saat ini. Karena Dia tahu Bram sangat mencintai dirinya.
“Sofi…sudahlah jangan menangis Maafkan aku, jika telah menyakitimu dengan pertanyaanku yang seperti itu” Haydar melanjutkan “Oia kamu ingin melanjutkan kuliah S2 bukan?, besok mendaftarlah, mumpung masih ada waktu pendaftaran” saran Haydar memberi semangat.
“Benarkah mas mengijinkan?,”Tanya sofi terharu. “mas baik sekali, aku semakin berhutang budi’
“apakah seorang suami akan menganggap perbuatanya untuk menyenangkan istri sebuah hutang budi?,Tidak bukan ” Haydar tersenyum (Huuuu Soo Sweeet ^_^)
***
Keesokan harinya Sofi mendaftar ke perguruan tinggi untuk melanjutkan kuliah S2. Ketika sedang berjalan sambil membawa map Sofi berbenturan satu sama lain, Sofi tersentak, memandang kearah pemuda yang bertabrakan dengannya, begitu juga si pemuda bengong setelah tahu siapa yang ditabraknya..
“Kamu?” desis Sofi
“Sofi…” desis pemuda itu yang tak lain adalah Bram. Bram pun hendak mendaftar kuliah.
Namun Sofi dengan cepat mengambil kertas yang berserakan dilantai, dan Sofi pergi begitu saja. Namun dengan cepat Bram memanggil Sofi dan mengejarnya.
Entah apa yang membuat Sofi untuk memberhentikan langkahnya. Sofi menunduk tak ingin menatap bram yang kini tepat dihadapannya.
“Sofi kau marah padaku?, aku minta maaf karena tak bisa datang ke pernikahanmu”. Namun sofi tetap menunduk dan segera berlalu meninggalkan Bram.
Bram menghentakkan tangannya, jengkel sekali mendapat perlakuan seperti itu, tapi Bram cepat menyadari dan berusaha mengintrospeksi diri. Mungkin Sofi sangat kecewa atas tindakannya, bahkan mungkin Sofi menganggap dirinya sebagai lelaki pengecut.
***
Pagi itu Sofi tengah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan suaminya yang akan dibawa pergi, Haydar harus pergi meninggalkan Sofi karena ada tugas di luar kota selama 1 bulan.
Tidak lama kemudian, mobil penjemput dari perusahaan datang, Haydar telah siap untuk berangkat, Haydar mencium kening istrinya.
“Jaga diri baik-baik sayang, awas jangan macam-macam” ucap Sofi
“Buat apa istriku sudah cantik dan sholeh, bahkan melebihi bidadari surga ” ucap Haydar sambil tersenyum pada istrinya. Dan Haydar pun pergi meninggalkan sofi.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam” balas Sofi
Hari demi hari sambil menunggu suaminya pulang, Sofi berusaha menyibukan diri dengan mengikuti mata kuliah. Tiap hari dia rajin berangkat ke kampus. Bertemu dengan teman-temannya cukup menghibur hatinya.
“Sofi…”
Sofi tersentak, ketika seorang pemuda memanggil namanya,dan ternyata Bram yang memanggil.
“Kamu mau apa, aku sudah bersuami?!”
Bram menundukkan kepala, lidahnya terasa kelu, dia tahu Sofi telah bersuami, Bram hanya ingin menyapa, “aku hanya ingin meminta maaf sekaligus mengucapkan selamat”. Maafkan aku Sofi…
Sofi pergi berlalu meninggalkan Bram… dalam hatinya kini resah dan gelisah, maafkan aku Bram, aku takut kenangan lama akan kembali mengisi hatiku. Aku tidak ingin menghianati suamiku, walaupun saat ini rasa itu terkadang sulit aku lupakan.
Sesampainya dirumah Sofi hanya melamun, fikiran Sofi tengah dilanda kegalauan yang ada dalam hatinya hanya suaminya dan Bram. Sofi pun pergi menemui Nayla dan Tuti sahabatnya, dan meceritakan semua yang terjadi padanya..
“Ini kesempatanmu sofi… bukankah suamimu sedang di luar kota, dia tidak akan tahu kalau kamu menjalin hubungn dengan bram. Kalau kau masih mencintainya” ucap Tuti
“Tapi… aku masih PERAWAN Tuti”
“Haaah?!!!” Nayla dan Tuti terkejut ketika mendengar pengakuan Sofi..
“Ya, mas Haydar tidak melakukan apa-apa padaku, aku tidak mungkin menghianatinya, dia begitu pengertian dan baik padaku juga sangat setia.”
Setelah menceritakan semuanya pada Nayla dan Tuti, Sofi pamit pulang…
Dijalan sofi bertemu dengan Bram dan beradu pandang…
“Sofi… kau tak mau memaafkan aku?”
“Tak ada yang perlu dimaafkan, aku sudah memaafkanmu, Permisi…” Sofi cepat berlalu meninggalkan Bram
***
Pagi itu Sofi menerima telpon dari suaminya…
“Assalamu’alaikum”
“Waalaikumsalam” ucap Sofi
“istriku sayang, bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja, hampir sebulan kita terpisah, aku rindu padamu sayang. Oh ya lusa kamu ulang tahun kan?, sebelumnya aku ucapkan selamat ulang tahun untukmu, maaf mungkin di hari ulang tahunmu aku tidak bisa hadir. Aku hanya bisa mengirim bingkisan untukmu, semoga kau selalu dalam lindungan Allah Subhanahu Wata’ala Aamiin”.
“Alhamdulillah mas ana bii khair. Tidak apa-apa jika mas tak hadir, karena walau bagaimanapun juga mas harus menyelesaikan pekerjaan mas, agar mas cepat pulang.” Jawab sofi
“Terimakasih istriku tercinta kau sudah mengerti keadaanku, oia maafkan mas karna mas, tak bisa berlama-lama karena pekerjaan mas masih banyak..Assalamu’alaikum sayang”
“Wa’alaikum salam, jaga diri mas baik-baik yaa” sofi menutup teleponnya.
***
Dua hari kemudian,..
Hari ini adalah hari ulang tahun sofi, dirumahnya sofi mengadakan acara ulang tahunnya dengan mengundang beberapa anak yatim-piatu dari panti asuhan yang tak jauh dari rumahnya…
Nayla dan Bram pun hadir, karena Sofi mengundang Bram untuk hadir di acara tersebut … saat acara berlangsung tiba-tiba suara telepon berdering
“Halo selamat malam” sapanya
“malam… benar ini rumah nyonya Sofi?” seorang pria bertanya
“ya benar, saya sendiri, ada apa?”
“Oh anda sendiri, saya dokter Doni, suami anda Tuan Haydar mengalami kecelakaan, sewaktu pulang menuju pulang ke rumah”
“apa kecelakaan?!”
“ya kini kini masih dalam perawatan , hanya luka kecil saja”
“Oh Ya Allah, sekarang suami saya berada di rumah sakit mana dok?”
“Tidak jauh dari rumah anda, di Rumah Sakit Mutiara”
“Terima Kasih dok, saya akan kesana sekarang”
Bram dan Nayla menghampiri Nayla, dan Sofi menceritaka apa yang tengah terjadi pada suaminya, mereka pun segera pergi menuju Rumah Sakit.
Sesampainya di Rumah Sakit Sofi langsung memeluk suaminya, “Mas…!, mas tidak apa-apa”
Haydar membalas dengan senyuman “Mas tidak apa-apa hanya luka kecil, bagaimana acara ulang tahunmu, kenapa kau kemari?”
“aku tak perduli acara ulang tahunku, bagiiku lebih utama adalah mas,. Aku takut terjadi sesuatu pada mas.”
“Aku mencintaimu mas, aku mencintaimu” “Demi Allah Aku Mencintaimu mas”
“Benarkah?” jawab Haydar dengan sangat senang. Karena semenjak hari pernikahan Sofi sedikitpun tak pernah berkata bahwa ia mencintainya. Benar-benar sebuah kata yang dirindukan oleh Haydar sebuah kata Cinta dari mulut dan hati Sofi
Haydar tersenyum..” “Terima kasih Sofi, kau tahu itulah kata yang selama ini aku ingin dengar darimu, kau memang istriku yang baik juga setia, Kau telah “Lulus Ujian” sebagai istri yang solehah”
“Maksud Mas…?”
“Kamu tahu? Sejak malam pertama kita, aku sengaja tidak memberimu nafkah bathin sebagaimana kewajiban seorang suami, bahkan aku kemudian menyuruhmu meneruskan kuliah dan kemudian pergi meninggalkan mu, kamu tahu kenapa aku lakukan ?”
“Aku ingin mengujimu, aku tahu dikampus kau bertemu kembali dengan Bram, mantan kekasihmu”
“darimana mas tahu” ucap Sofi
Belum juga Haydar berucap, Nayla mengucapkan “Maafkan aku sofi, akulah yang memberitahu pada mas Haydar”
“Ada hubungan apa kau dengan mas Haydar?”
Haydar menjawab “Nayla adalah saudara sepupuku”
“Apa?!, kalian jahat”
“Itu semua kulakukan, karena aku sayang kamu sofi. Dan kalaupun kau ingin kembali pada Bram, Insyaallah aku akan merelakannya, aku ingin kau bahagia, maka aku pun akan bahagia”
“Itu sebabnya mas tak menjamahku?”
“Ya, itupun yang kau inginkan bukan. karena aku tak ingin menodai cinta karena Allah, dan aku tak ingin merampas kebahagiaanmu,. dengan masih sucinya dirimu, kalau memang kau mau kembali pada Bram, maka keadaan mu masih suci, belum ternoda…”
Sofi dengarlah aku pernah mendengar hadits “Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, maka sikapilah para wanita dengan sebaik-baiknya” (HR. Al-Bukhori Kitab An-Nikah no. 5186).
Sofi hanya dapat menangis dalam pelukan Haydar suaminya.
“Tidak mas.. Maafkan aku mas, Bram hanyalah masalaluku, bagiku mas adalah jodohku tulang rusukku yang paling bengkok”
“terkadang cinta membuat seseorang gila, gila akan nafsunya untuk mencintai cinta itu sendiri, jiwaku dikelabuhi nafsu, hingga aku tak mengenal apa arti dari cinta karena Allah. Jiwaku selalu mencari cinta diriku sendiri,. Tanpa memikirkan siapa sebenarnya jodoh yang Allah berikan, aku terlalu egois mas, maafkanlah aku” kini aku Percaya akan sabda Rasulullah SAW “Cintailah kekasihmu sewajarnya saja, karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi orang paling kamu benci. Bencilah sewajarnya saja karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi kekasihmu” (HR. At-Tirmidzi).
Maafkan aku mas aku pun lupa akan Firman Allah “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu,dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu: Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Albaqarah : 216).
So sahabat jangan pernah pacaran … ok ok ^.^
Barakallahu Fiikum, semoga bermanfaat ^_^
Wasalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


FORWARD==>> –Renungan dan Motivasi : Ifta Istiany Notes–

Rabu, 01 Agustus 2012

           
JANGAN TERLALU TERPEDAYA DENGAN YANG NAMANYA UANG KARENA ADA JUGA YANG TIDAK DAPAT DIBELI DENGAN UANG, SETIAP ORANG MEMANG MEMBUTUHKAN UANG NAMUN JANGAN TERLALU TERPIKAT DENGANNYA KARENA UANG SELALU BERDAMPINGAN DENGAN SYAITON


JADI HIDUP SEDERHANA LEBIH BAIK DARIPADA HIDUP DENGAN YANG BERGELIMPANGAN UANG DIMANA SETIAP MALAMNYA MEREKA YANG MEMPUNYAI UANG BANYAK SUSAH TIDUR KARENA MEMIKIRKAN UANG MEREKA YANG TERLALU BANYAK.